Minggu, 22 Juni 2014

Sang kekasih itu "Tukang Becak"

Suatu malam, Ustadz Muhammad Nadzif Masykur berkunjung ke rumah. Setelah membicarakan beberapa hal, beliau bercerita tentang seorang tukang becak di sebuah kota, di Jawa Timur. Ini baru cerita, kata saya. Yang saya catat adalah, pernyataan misi hidup tukang becak itu:

1. Jangan pernah menyakiti.
2. Hati-hati memberi makan istri.

Antum pasti tanya, tukang becak macam apakah ini sehingga punya mission statement segala? Saya juga tertakjub dan berulang kali berseru "SubhanAllah!" mendengar kisah hidup bapak berusia 55 tahun ini. Beliau ini hafidz Qira'ah Sab'ah!!! Beliau menghafal al-Qur'an lengkap dengan tujuh qiraat seperti saat diturunkan; qiraat Imam Hafsh, Imam Warasy, dan lainnya.

Dua kalimat beliau itu sederhana. Tetapi bayangkanlah sulitnya mewujudkan hal itu bagi kita. JANGAN PERNAH MENYAKITI. Dalam tafsir beliau di antaranya adalah soal tarif becaknya. Jangan sampai ada yang menawar, karena menawar menunjukkan ketidakrelaan dan ketersakitan. Misalnya ada yang berkata, "Pak terminal Rp 5000 ya....," terus dijawab, "Waduh, nggak bisa, Rp 7000 mbak." ini namanya sudah menyakiti. Makanya beliau tak pernah pasang tarif. "Pak ke terminal Rp 5000 ya..." jawabnya pasti OK. "Pak, ke terminal Rp 3000 ya..." jawabnya juga oK. Bahkan kalau, "Pak ke terminal 1000 ya...," jawabnya juga sama: OK.

Gusti Allah! Manusia macam apa ini. Kalimat kedua, HATI-HATI MEMBERI MAKAN ISTRI, artinya sang istri hanya akan makan dari keringat dan becak tuanya. Rumahnya berdinding gedheg. Istrinya berjualan gorengan. Stop! Jangan dikira beliau tidak bisa mengambil yang lebih dari itu. Harap tahu, putra beliau dua orang. Hafidz al-Qur'an semua. Salah satunya sudah menjadi dosen terkenal PTN terkemuka di Jakarta. Adiknya, tak kalah sukses. Pejabat strategis di pemerintah baru sekarang.

Uniknya, saat pulang, anak-anak sukses ini tak berani berpenampilan "wah". Mobil ditinggal beberapa blok dari rumah. Semua aksesoris diri: arloji, handphone dilucuti. Bahkan baju perlente diganti kaos oblong dan celana sederhana. Ini adab, tata krama. Sudah berulangkali sang putra mencoba meminta bapak dan ibunya ikut ke Jakarta. Tetapi tidak pernah tersampaikan. Setiap kali akan bicara serasa tercekat di tenggorokan, lalu mereka hanya bisa menangis. Menangis. Sang bapak selalu bercerita tentang kebahagiaannya, dan dia mempersilahkan putra-putranya untuk menikmati kebahagiaan mereka sendiri.

Waktu saya ceritakan ini pada istri di Gedung Bedah Sentral RSUP Dr. Sardjito keesokan harinya, kami menangis. Ada banyak kekasih Allah yang tak kita kenal.
---
Salim A. Fillah, "Barakallahu Laka: Bahagianya Merayakan Cinta", hlm. 440-441.
-++-

0 komentar:

Posting Komentar